Sistem Ahlul Halli Wal ‘Aqdi
SEPUTAR ASAL-MUASAL, ALASAN-ALASAN SERTA PROSES TERCAPAINYA KEPUTUSAN TENTANG AHLUL HALLI WAL ‘AQDI
Diskusi tentang “Ahlul Halli Wal ‘Aqdi” telah dimulai sejak 2012. Latar belakangnya adalah keprihatinan tentang realitas proses pemilihan kepemimpinan NU di berbagai tingkatan yang semakin kuat dicampuri oleh pihak-pihak dari luar NU demi kepentingan-kepentingan politik sesaat. Misalnya: calon-calon pilkada yang bertarung mendukung calon pimpinan NU dari kubu masing-masing. Lebih memprihatinkan lagi, pertarungan-pertarungan dalam forum-forum permusyawaratan Nahdlatul Ulama di berbagai tingkatan itu hampir selalu melibatkan politik uang untuk jual-beli suara. Hal itu jelas akan menjurus kepada kerusakan moral yang luar biasa dalam jajaran kepemimpinan Nahlatul Ulama.
Pada waktu itu, PWNU Jawa Timur hendak menerapkan model Ahlul Halli Wal ‘Aqdi itu dalam Konferensi Wilayah mereka. Tapi karena belum ada payung hukum yang memadai, PBNU meminta agar maksud itu ditunda. Selanjutnya, dalam Rapat Pleno ke-2 PBNU di Wonosobo, tanggal 6 – 8 September 2013, Rais ‘Aam K.H. M. A. Sahal Mahfudh rahimahullah memerintahkan agar PBNU segera memproses gagasan tentang Ahlul Halli Wal ‘Aqdi itu menjadi aturan yang dapat diterapkan dalam pemilihan kepemimpinan di seluruh jajaran kepengurusan NU.
Berdasarkan perintah Rais ‘Aam tersebut kemudian dibentuklan satu tim khusus, dipimpin oleh K.H. Masdar F. Mas’udi (Rais Syuriah PBNU) dan Drs. Abdul Mun’im DZ (Wakil Sekjen PBNU). Tim itu segera melaksanakan penelitian dan kajian-kajian hingga dihasilkan suatu naskah akademis yang cukup mendalam, mencakup landasan nilai-nilai keagamaan, dasar-dasar filosofis, acuan historis hingga pertimbangan-pertimbangan terkait dinamika sosial-politik mutakhir yang mengharuskan diterapkannya model Ahlul Halli Wal ‘Aqdi itu.
Naskah akademis tersebut kemudian dibahas dalam Munas dan Konbes ke-2 pada tanggal 2 -3 Nopember 2014 di Jakarta. Hasilnya adalah kesepakatan bahwa:
1. Munas dan Konbes menyepakati dan menetapkan digunakannya sistem Ahlul Halli Wal ‘Aqdi dalam pemilihan kepemimpinan NU, tapi penerapannya dilaksanakan dengan cara bertahap untuk mengidentifikasi hal-hal yang perlu disempurnakan di masa depan, dimulai dengan pemilihan/penetapan Rais ‘Aam dan rais-rais syuriah di semua tingkatan. Sedangkan untuk Ketua Umum dan ketua-ketua tanfidziah masih dengan pemilihan langsung;
2. Munas dan Konbes memberi mandat kepada PBNU untuk menyusun aturan operasional bagi penerapannya untuk dibahas lebih lanjut menjadi produk aturan yang berlaku efektif.
Maka Munas Alim Ulama ke-3 pada tanggal 14 – 15 Juni 2015 di Jakarta diselenggarakan sebagai pelaksanaan mandat/perintah dari keputusan Munas dan Konbes ke-2 tahun 2014 tersebut.
Jelas bahwa gagasan tentang Ahlul Halli Wal ‘Aqdi ini tidaklah muncul tiba-tiba. Apalagi jika dikatakan semata-mata manuver sesaat dalam rangka perebutan kepemimpinan Nahdlatul Ulama dalam Muktamar ke-33 nanti. Gagasan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi ini telah melalui proses penelitian, kajian-kajian dan diskusi-diskusi serta pembahasan dalam forum-forum permusyawaratan Nahdlatul Ulama tingkat Nasional sejak bertahun-tahun yang lalu (2012).
Jelas bahwa gagasan tentang Ahlul Halli Wal ‘Aqdi ini tidaklah muncul tiba-tiba. Apalagi jika dikatakan semata-mata manuver sesaat dalam rangka perebutan kepemimpinan Nahdlatul Ulama dalam Muktamar ke-33 nanti. Gagasan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi ini telah melalui proses penelitian, kajian-kajian dan diskusi-diskusi serta pembahasan dalam forum-forum permusyawaratan Nahdlatul Ulama tingkat Nasional sejak bertahun-tahun yang lalu (2012).
Lebih dari itu, berebut jabatan amatlah bertentangan dengan nilai-nilai ideal Nahdlatul Ulama dan sangat tidak pantas dilakukan oleh kader-kadernya, terlebih lagi oleh para ulamanya.
Dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama ke-3 tanggal 14 – 15 Juni 2015 di Jakarta tersebut disepakati wawasan bersama sebagai berikut:
Pertama, bahwa Rais ‘Aam adalah jabatan “shohibul maqom” , tidak boleh ditempati kecuali oleh orang yang memang telah mencapai maqom yang sesuai. Didalam maqom itu terkandung kriteria: faqiih (memiliki penguasaan yang mendalam atas ilmu-ilmu syari’at) dan mutawarri’
(terjaga martabat keulamaannya dari akhlak dan haaliyyah yang tidak pantas, termasuk keterlibatan yang terlampau vulgar dalam politik praktis).
(terjaga martabat keulamaannya dari akhlak dan haaliyyah yang tidak pantas, termasuk keterlibatan yang terlampau vulgar dalam politik praktis).
Hal itu dikarenakan Nahdlatul Ulama bukan sekedar organisasi biasa, tapi merupakan “qiyaadah diiniyyah” , yaitu acuan keagamaan bagi warganya. Maka Rais ‘aam sebagai pemimpin dan penanggung jawab tertinggi dari tuntunan dan bimbingan keagamaan yang diberikan oleh Nahdlatul Ulama kepada warganya haruslah seorang yang sungguh-sungguh menguasai seluk-beluk ajaran keagamaan yang menjadi haluan Nahdlatul Ulama, terutama dalam bidang syari’at.
Hadlratusysyaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari telah sejak awal menekankan nilai-nilai kepemimpinan keagamaan tersebut kepada para Ulama Nahdlatul Ulama, sebagaimana yang beliau nyatakan dalam Qanun Asasi:
ﻓﻴﺎ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﺍﻟﺴﺎﺩﺓ ﺍﻷﺗﻘﻴﺎﺀ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﺃﻫﻞ ﻣﺬﺍﻫﺐ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ ﺃﻧﺘﻢ ﻗﺪ ﺃﺧﺬﺗﻢ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﻣﻤﻦ ﻗﺒﻠﻜﻢ ﻭﻣﻦ ﻗﺒﻠﻜﻢ ﻣﻤﻦ ﻗﺒﻠﻪ ﺑﺎﺗﺼﺎﻝ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﺇﻟﻴﻜﻢ ﻭﺗﻨﻈﺮﻭﻥ ﻋﻤﻦ ﺗﺄﺧﺬﻭﻥ ﺩﻳﻨﻜﻢ ﻓﺄﻧﺘﻢ ﺧﺰﻧﺘﻬﺎ ﻭﺃﺑﻮﺍﺑﻬﺎ ﻭﻻ ﺗﺆﺗﻮﺍ ﺍﻟﺒﻴﻮﺕ ﺇﻻ ﻣﻦ ﺃﺑﻮﺍﺑﻬﺎ ﻓﻤﻦ ﺃﺗﺎﻫﺎ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺃﺑﻮﺍﺑﻬﺎ ﺳﻤﻲ ﺳﺎﺭﻗﺎ … ﻗﻮﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ … ﻻ ﺗﺒﻜﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺇﺫﺍ ﻭﻟﻴﻪ ﺃﻫﻠﻪ ﻭﺍﺑﻜﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺇﺫﺍ ﻭﻟﻴﻪ ﻏﻴﺮ ﺃﻫﻠﻪ
“Wahai ulama dan para pemimpin yang bertaqwa di kalangan Ahlussunnah wal Jamaa’ah keluarga madzhab Imam Empat; Anda sekalian telah menimba ilmu-ilmu dari orang-orang sebelum anda, dan orang-orang sebelum anda menimba dari orang-orang sebelum mereka, dengan jalinan sanad yang bersambung sampai kepada Anda sekalian. Dan anda sekalian selalu meneliti dari siapa Anda menimba ilmu agama Anda itu. Maka Anda-lah para penjaga dan pintu gerbang ilmu-ilmu itu. Jangan memasuki rumah-rumah kecuali dari pintu-pintunya. Barangsiapa memasukinya tidak lewat pintu-pintunya, akan disebut pencuri…. Sabda Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam… ‘Janganlah kau menangisi agama ini bila ia berada di tangan ahlinya. Tangisilah agama ini bila ia berada di tangan orang yang bukan ahlinya”.
Rais ‘Aam juga merupakan simbol utama martabat Jam’iyyah Nahdlatul Ulama secara keseluruhan. Maka seorang Rais ‘Aam haruslah memiliki martabat yang luhur yang sungguh-sungguh tercermin dalam akhlaknya, sebagai pengejawantahan maqom rohani yang matang.
Selanjutnya, karena Nahdlatul Ulama harus dikelola sebagai organisasi, maka seorang Rais ‘Aam juga dituntut untuk memainkan peran kepemimpinan sebagai munadhdhim (mampu memimpin manajemen organisasi), dan muharrik (mampu menggerakkan dinamika jam’iyyah).
Kedua, jelas bahwa kriteria Rais ‘Aam tersebut diatas menyangkut hal-hal yang tidak mudah ditandai dan diukur denagn kaca mata orang kebanyakan. Kriteria faqiih, misalnya, yang berkaitan dengan tingkat penguasaan ilmu, hanya bisa diniliai oleh orang-orang yang juga berilmu. Karena, laa ya’riful ‘aalim illal ‘aalim , tidak dapat mengukur kealiman seseorang kecuali orang yang alim.
Apalagi kriteria yang berkaitan dengan kematangan rohani. Maka hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu saja yang bisa memilih dengan benar, yaitu orang-orang yang ‘alim/faqih, ahlul wara’ , zuhud, mengerti kebutuhan organisasi dan sungguh-sungguh memahami ketentuan-ketentuan agama dalam memilih pemimpin. Orang-orang dengan syarat-syarat seperti itulah yang nantinya akan dipilih untuk menjadi anggota-anggota Ahlul Halli Wal ‘Aqdi;
Sistem Ahlul Halli Wal ‘Aqdi ini dengan sendirinya akan menyumbat intervensi pihak luar dalam pemilihan kepemimpinan NU karena pemegang wewenangnya adalah para ulama yang paling matang secara keilmuan dan maqom rohaninya, yang tak dapat digoda dengan bujukan-bujukan duniawi.
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.