Header Ads

Tantangan Ber (NU) DI Era MEDSOS


PCNU Kota Pasuruan JATIM - Perjalanan Nahdlatul Ulama (NU) sudah menapaki usia 93 tahun dan akan memasuki era satu abad. Sebagai organisasi, tilikan atas pergerakan sejarah NU dengan rentang waktu yang sangat panjang telah mengalami fase-fase penting dan berliku, yang tidak luput dari kontestasi gagasan ideologis hingga konfrontasi fisik. Sebab nyatanya, gagasan tidak berarti apa-apa jika tidak dipertahankan dengan segala tumpah darah sebagai jalan jihad untuk membumikan dasar-dasar Ahllussunnah wal Jamaah (Aswaja) dalam konteks beragama dan berbangsa.

Bisa dilihat sejenak, bagaimana para ulama atau kiai pesantren yang berhaluan Aswaja menyatukan gagasan, sekaligus dengan aksi nyatanya melalui pembentukan Komite Hijaz. Faktanya, pembentukan komite ini bukan tanpa dasar, untuk tidak mengatakan tiba-tiba lahir, melainkan terencana dengan baik sebagai media perlawanan terhadap semua pihak yang tidak mau menghargai perbedaan. Tepatnya perlawanan terhadap rezim Saudi-Wahabi yang tidak menghargai perbedaan pendapat, yakni rezim yang telah menyalahkan semua paham dan praktik-praktik keagamaan Islam Sunni (Aswaja), khususnya. Tidak sedikit situs-situs Islam yang sangat berharga dan disakralkan di kalangan penganut Islam Sunni dihancurkan dengan dalil bid’ah dan syirik.

Dari Komite Hijaz ini kemudian para pendiri NU mulai memiliki kesadaran akan pentingnya berorganisasi. Kesadaran yang tidak disikapi dengan grusa-grusu, butuh waktu dan petunjuk langsung dari Sang-Khaliq, Allah SWT melalui berbagai istikharah agar proses mendirikan organisasi, bukan sekadar ajang kebanggaan. Tapi betul-betul dalam rangka meneguhkan Islam Aswaja dan berharap mendapat ridha-Nya. Itulah gaya hidup dari para kiai pesantren yang layak diteruskan dalam setiap mengambil keputusan penting; gaya hidup yang mampu mensinergikan gerakan rasional-empirik di satu sisi, dan gerakan spiritual sebagai penyangga keberhasilan di sisi yang berbeda.

Oleh karenanya, membaca sejarah jamiyah akan teringat bagaimana peran spiritual Syaikhana Kholil Bangkalan dengan sejumlah isyarat simboliknya; tasbih dan tongkat, sekalipun yang bersangkutan tidak sampai menyaksikan berdirinya NU sebab meninggal satu tahun sebelum jamiyah ini lahir. Warisan simbolik dari Syaikhana Kholil adalah kekuatan spiritual bersinergi dalam kesatuan komando yang dialamatkan kepada Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari dengan wasilah KH As’ad Syamsul ‘Arifin. Kalimat yang teringat adalah ungkapan ya Jabbar, ya Qahhar.

Sistem komando bersenyawa dengan kekuatan spiritual yang kemudian menempatkan posisi Kiai M Hasyim Asy’ari sangat strategis dan menentukan dalam proses lahir dan perkembangan NU hingga berkah sampai saat ini. Bersama kiai-kiai lainnya, sebut saja di antaranya KH Abd Wahab Hasbullah Jombang, KH Bisri Syansuri Jombang, KH. Ahmad Dahlan Ahyad Kebondalem Surabaya, KH Muntaha Bangkalan (menantu Syaikhana Kholil Bangkalan) KH Asnawi Kudus, KH Ridwan Abdullah Surabaya, KH Mas Alwi ibn Abdul Aziz Surabaya, KH Nawawi Sidogiri, KH Faqih Maskumambang, KH Ma'shum Lasem, KH Nahrawi Thahir Surabaya, KH Hasan Dipo Surabaya, KH Ridwan Semarang, dan lainnya. Hadratussyaikh Kiai Hasyim menginisasi berbagai kegiatan baik dalam konteks wacana hingga aksi untuk membumikan prinsip-prinsip Aswaja NU, sekaligus memperjuangkan kemerdekaan NKRI.

Pada momentum harlah ke-93 NU yakni 31 Januari 2019, satu hal yang menurut penulis penting untuk direnungkan dan semestinya ditegaskan kembali apalagi di era merebaknya media sosial atau Medsos adalah menggelorakan kembali semangat perlawanan NU. Perlawanan itu harus dalam satu komando sebagai mana diwariskan para pendiri, baik ketika meneguhkan Islam atau meneguhkan NKRI.

Satu komando itu penting, agar setiap gagasan mampu tereksekusi dengan baik dari satu titik menyebar ke titik pergerakan lainnya. Bukannya para pendiri NU itu tidak ada perbedaan. Mereka menyadari betul bahwa perbedaan jangan menjadi sebab terpecah belah dalam organisasi dan perjuangan, sehingga semua hormat kepada komando Hadratussyaikh Kiai Hasyim.

NU di Era Medsos

Dalam sejarah NU, meminjam konsep Adonis al-tsawabith wa al-mutaghayirat, setiap generasi memiliki sejarahnya masing-masing dalam merespons fenomena keumatan dan kebangsaan, yang kemudian disebut sebagai yang berubah (al-mutaghayirat). Tapi, ada pula yang tidak boleh berubah atau sebagai al-tsawabit, yaitu semangat nilai perjuangan Aswaja dengan pewajahan aksinya yang mengedepankan moderasi, berkeadilan, dan toleran dalam beramar ma’ruf nahi munkar.

Karenanya, tantangan ber-NU di era Medsos harus memperhatikan yang tetap (al-tsawabit) dan yang berubah (al-mutaghayirat). Pastinya, gerakan yang dilakukan harus memiliki pondasi yang matang dan kuat dalam rangka meneruskan spirit perlawanan yang diwariskan oleh para pendiri NU. Jamiyah ini lahir untuk bergerak bangkit (al-nahdlah) bukan diam karena perubahan tidak datang dari langit. Tapi harus diciptakan dan digerakan dengan serius. Ini yang kemudian oleh para generasi awal NU berani mempertaruhkan harta hingga nyawa.

Apa yang harus dilakukan saat ini? Pertama, berpijak dengan yang tetap (al-tsawabit). Keterbukaan informasi yang gencar di medsos telah menyebabkan pertarungan ideologis dilakukan secara terbuka. Menariknya, jika dulu hanya terjadi antar para tokoh saling berdebat secara terbuka hingga melalui tulisan. Tapi hari ini, semua orang yang tidak suka dengan NU atau tidak suka dengan kepemimpinan tertentu di NU dengan “seenaknya” melakukan kritik. Bahkan kritik itu sampai pada upaya menghina hanya karena perbedaan pendapat dan pilihan politik. Lebih parah lagi, mereka yang tidak memiliki keilmuan yang matang, hanya berdasar pada suka dan tidak suka ikut berkomentar tanpa merasa bersalah dengan hanya mengandalkan kiriman di Medsos dan cukup dengan menyalin, tanpa koreksi apalagi melakukan klarifikasi.

Dalam konteks ini, kader NU tidak boleh diam, apalagi acuh. Pasalnya, di satu pihak, ada proses perusakan akidah dan amaliah di lingkungan NU dengan alasan bid’ah, syirik dan khurafat sebagaimana dilakukan kelompok Wahabi-salafi dan sejenisnya. Di pihak yang berbeda, ada proses delegitimasi kepemimpinan di NU dari alasan hanya ketidak samaan pendapat hingga memang tidak senang, sehingga ada usaha agar NU dijauhi anggota atau jamaahnya. Karena itu, kader NU milenial khususnya, harus keluar kandang untuk melakukan perlawanan opini di dunia maya agar jamiyah ini makin kuat. Sebab hancurnya NU diyakini menjadi jalan hancurnya NKRI.

Kedua, berpijak dengan yang hal berubah (al-mutaghayirat). Maksudnya, pada konteks gerakan yang dilakukan di NU harus mulai memanfaatkan Medsos di semua lini dari ranting hingga pusat. Prinsipnya, yang lama dipertahankan, tapi yang baru harus digunakan (al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah). Kegiatan rutin amaliah NU dari yasinan, manaqiban, shalawat dan sebagainya di mushalla, langgar, surau, rumah, hingga masjid layak dijaga sebagai bentuk silaturrahim antarnahdliyin, sekaligus penguatan ideologi Aswaja.

Tapi, lebih dari itu, bagaimana seluruh kegiatan yang dilakukan dari ranting hingga pusat dikuatkan dakwahnya melalui media yang marak berkembang di medsos dengan memanfaatkan gawai. Misalnya, setiap kegiatan disebarkan melaui youtobe, facebook, twitter, whatsapp, instagram dan lainnya. Jejaring antargrup bergerak dengan kesadaran bersama untuk melawan agar Medsos jauh dari ujaran kebencian dan hoaks untuk menghancurkan umat, khususnya NU dan bangsa.

Apa yang akan kita lakukan? Melawan atau diam saja sambil menantikan kehancuran NU? Pastinya kita memilih untuk melawan, sebab kehadiran NU semenjak 1926 adalah warisan para kiai sehingga kita sebagai santri dapat bersikap arif menjaga nilai keislaman dengan lokalitas. Bahkan merawat dan menjaga nilai kebangsaan yang menjadi warisan para kiai.

Akhirnya, spirit perlawanan satu komando yang diteladankan para pendiri NU harus terus digerakkan sesuai era kekinian. Pastinya, perlawanan yang mengedepankan moderasi, toleransi dan beradilan dalam bingkai Aswaja al-Nahdliyah sehingga dalam konteks melawan di Medsos berhasi menjauhkan ujaran kebencian dan hoaks, lebih-lebih kepada NU dan narasi opini yang akan merusak sendi berbangsa.

Semoga NU terus jaya dan kadernya terus "melek" terhadap realitas terkini agar mampu bergerak strategis dalam meneguhkan Aswaja dan NKRI. Satu komando, jayalah NU dan jayalah NKRI. Selamat harlah ke-93 NU.

(Wasid, penulis adalah dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya, dan Wakil Ketua Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Jawa Timur)

No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Powered by Blogger.