Karakter Tawassuth, Tawazun dan I’tidal
PCNU Kota Pasuruan JATIM -
Sebagai pembeda dengan yang lain, ada tiga ciri
aswaja, yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh
Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Yaitu:
1. Al-Tawassuth (sikap tengah-tengah,
sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun
ekstrim kanan). Disarikan dari firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ
اُمَّةً
وَسَطًا
لِتَكُوْنُوْا
شُهَدَاءَ
عَلَى النَّاسِ
وَيَكُوْنُ
الرَّسُوْلُ
عَلَيْكُمْ
شَهِيْداً (البقرة: 143)
“Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu
menjadi saksi (ukuran penilaian) atas
(sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT
menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian.” (QS. al-Baqarah: 143).
2. Al-Tawazun, (seimbang dalam segala hal,
termasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil
naqli). Firman Allah SWT:
لَقَدْ
اَرْسَلْنَا
رُسُلَنَا
بِالْبَيِّنَاتِ
وَاَنْزَلْنَا
مَعَهُمُ
الْكِتَابَ
وَالْمِيْزَانَ
لِيَقُوْمَ
النَّاسُ
بِاْلقِسْطِ (الحديد:
25)
“Sungguh kami telah mengutus rasul-rasul kami
dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami
turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan.” (QS. al-Hadid: 25).
3. Al-I’tidal
(tegak lurus). Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman:
يَآاَيُّهَا
الَّذِيْنَ
آمَنُوا
كُوْنُوْا
قَوَّامِيْنَ
للهِ شُهَدَاءَ
بِالْقِسْطِ،
وَلاَيَجْرِمَنَّكُمْ
شَنَآنُ
قَوْمٍ
عَلَى اَنْ لاَتَعْدِلُوْا،
اِعْدِلُوْا
هُوَ اَقْرَبُ
لِلتَّقْوَى
وَاتَّقُوْا
اللهَ اِنَّ اللهَ خَبِيْرُ
بِمَا تَعْمَلُوْنَ (المائدة:
8)
“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi
orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur
kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan
kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan
pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Maidah: 8).
Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah
Wal-Jama’ah juga mengamalkan sikap tasamuh
(toleransi). Yakni menghargai perbedaan serta
menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang
berbeda tersebut dalam meneguhkan
apa yang diyakini. Firman Allah SWT:
فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (طه :44)
“Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi
Musa AS dan Nabi Harun AS)
kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat
atau takut.” (QS. Thaha: 44).
Ayat ini berbicara tentang perintah
Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik
kepada Fir’aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika
menjabarkan ayat ini mengatakan, “Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi
Harun AS kepada Fir’aun, adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih,
lembut, mudah dan ramah. Hal itu
dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih
berfaedah”. (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz III, hal. 206).
Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan
KH. Ahmad Shiddiq bahwa
prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut:
1. Akidah.
a. Keseimbangan
dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli.
b. Memurnikan
akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak
gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.
2. Syari'ah
a. Berpegang teguh pada al-Qur'an dan Hadits dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.
b. Akal
baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang jelas (sharih/qoth'i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).
3. Tashawwuf/Akhlak
a. Tidak
mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam,
selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
hukum Islam.
b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam
menilai sesuatu.
c.
Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah
atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu’
(antara sombong dan rendah diri) dan sikap
dermawan (antara kikir dan boros).
4. Pergaulan Antar golongan
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan
antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.
5. Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b. Selalu
taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.
6. Kebudayaan
a. Kebudayaan
harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma
dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik dan tidak bertentangan
dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang
tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-muhafazhah ‘ala al-qadim
al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).
7. Dakwah
a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah,
tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b. Berdakwah
dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Dakwah
dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan
kondisi dan keadaan sasaran dakwah. (Lihat Khitthah Nahdliyyah, hal. 40-44,)
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.