Burdah dan Politik Keteladanan Mbah Wahab
Oleh: Wasid Mansyur
|
Kitab Burdah cukup masyhur dikalangan Muslim Nusantara, terlebih untuk kalangan pesantren. Pasalnya, kitab ini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam praktik-praktik keseharian beragama, bahkan tidak sedikit rutinitas burdah ini menjadi semacam pemantik seseorang terikat dalam satu kelompok majelis, misalnya majelis sholawat Burdah berkembang di berbagai daerah dengan sebutan yang berbeda-beda.
Bila ditelisik sekilas, sejatinya kitab ini hanya memuat ungkapan gaya sya’ir dari penulisnya, yakni Imam Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad ibn Sa’id atau lebih dikenal dengan nama Syaikh Imam al-Bushiri (w. 695 H/1296 M), tentang kecintaannya yang mendalam kepada Nabi Muhammad Saw. Karenanya, dari awal hingga akhir ungkapan-ungkapan syair itu penuh dengan upaya memuji Nabi dan keteladanannya di satu sisi serta menjadikan Nabi sebagai “wasilah” untuk bisa lepas dari segala musibah sebagai mana menjadi pengalaman imam Bushiri di sisi yang berbeda. Dan nama Burdah bagi kitab ini memiliki hubungan erat dengan pengalaman hidup Imam Bushiri yang sembuh dari penyakit lumpuhnya.
Tulisan ini bukan untuk mengungkap kelebihan sastrawi dari kitab Burdah, yang diyakini sangat banyak memuat nilai-nilai puitis, terlebih bila dilihat dari kajian ‘Arud dalam tradisi sastra Arab. Tapi, fokus tulisan pada bagaimana seorang Muslim memahami dan membacanya dengan mendalam hingga ikut larut dalam gerak meng-ekspresikan cinta kepada Nabi.
Itulah potret sang Pecinta—salah satunya—adalah banyak menyebut yang dicintai, sekaligus menyebutkan kebaikan budi pekertinya.
Bentuk ekspresi kecintaan ini yang kemudian melahirkan sikap menjadikan kitab ini banyak dijadikan wasilah. Tepatnya, langkah mediasi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menjadikan Nabi-Nya sebagai perantara dengan harapan semoga segala kehidupan ini penuh kebahagiaan dan jauh dari segala bencana sebagaimana juga pernah dialami oleh imam Bushiri.
Tidak salah bila di beberapa daerah tertentu, kitab ini menjadi bacaan sakral, apalagi ketika menghadapi datangnya bencana atau banyak menyebutnya sebagai penolak “pagebluk”. Ya, semacam menjadikannya sebagai jalan alternatif magis untuk lepas dari bencana-bencana hidup, sekaligus sukses dalam bercita-cita.
Belajar dari Mbah Wahab
Lantas apa hubungannya Burdah dan K.H. Wahab Hasbullah (selanjutnya disebut Mbah Wahab). Inilah yang layak diketahui, oleh siapapun, khususnya kalangan muda NU disemua lini. Mbah Wahab dikenal bukan saja kiai pesantren dan NU, tapi organisatoris yang handal dan berkemampuan negosiasi luar biasa dengan semua kalangan. Kemampuan negosiasinya mampu menaklukkan lawan bicara hingga tidak ada pilihan kecuali meng-iyakan maksudnya, meskipun banyak pihak yang terkadang meragukan kemampuan ini.
Salah satu rahasianya adalah politik gaya mbah Wahab selalu dibarengi dengan gerak batin, bukan sekedar mengandalkan gerak rasional dalam bernegosiasi. Memadukan dua kekuatan ini yang kemudian mengantarkan posisi mbah Wahab cukup disegani dalam pentas sejarah perpolitikan nasional, bukan saja di kalangan politisi Muslim, tapi sekaligus politisi Nasionalis.
Menurut, beberapa sumber, gerak batin yang dilakukan oleh Mbah Wahab dalam mengawal isu-isu besar politik NU, khususnya dalam memperjuangkan nilai-nilai keaswajaan dalam pentas politik gerakan, berkaitan dengan kebiasaannya menggunakan kitab Burdah sebagai mediasi untuk dibaca sebagai wirid, yakni media mendekatkan Sang Penggerak Sejati (Allah SWT). Tidak dibaca semua, tapi hanya dua bait saja yang menggambarkan bacaan sholawat, sekaligus menempatkan Nabi sebagai wasilah agar terkabulnya segala keinginan.
Dua bait itu adalah:
Maula ya sholli wa sallim daiman Abada(n)
‘ala habibika khoiril khalqi kullihimi
Huwal habibul ladzi turja syafa’atuhu
Likulli hawlin minal ahwali muqtahami
Dari sumber yang disebutkan, setiap kali menyikapi momentum strategis, khususnya dalam soal penentuan kebijakan dan tawar menawar kepentingan besar NU, Mbah Wahab senantiasa memperbanyak membaca dua bait di atas, yang merupakan bagian dari syair-syair kitab Burdah; setidaknya membaca 100 kali untuk bait yang kedua dan membaca 2 kali untuk bait pertama.
Untuk memantapkan keyakinannya, terkadang Mbah Wahab ikut melibatkan para santri Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang larut beristighasah membaca dua bait Burdah, sambil beliau bergerak melakukan negosiasi politik tingkat tinggi.
Salah satu keampuhan Mbah Wahab dengan pola gaya Santri bernegosiasi mengantarkan posisi NU menjadi organisasi berkah, bahkan ketika menjadi partai politik, posisi NU sangat disegani. Model negosiasi gaya mbah Wahab dipandang ampuh, ketika langsung melobi Ir. Soekarno soal penentuan kabinet pasca pemilu 1955, dimana suara NU cukup signifikan diurutan ke-tiga, setelah pisah dari partai Masyumi. Penentuan kebinet ini penting, bukan soal kursi kekuasaan, tapi soal bagaimana dakwah ideologis perjuangan NU bisa berkelindan dalam pentas mewarnai institusi negeri.
Bocoran Ali Sastroamidjojo soal jatah kabinet NU hanya dapat 2 kursi, terdengar oleh Mbah Wahab. Kabar ini memantik rasa tidak terimanya, bagaimana mungkin posisi NU yang berada diurutan ke-3 dan mendapat jatah 45 diparlemen, malah dapat dua kursi kabinet sama persis ketika tidak jadi partai politik. Dalam kondisi seperti ini, Mbah Wahab langsung negosiasi dengan melobi Ali Sastroamidjojo, tapi tidak menemukan jalan keluar. Bahkan, disuruh langsung menghadap Ir. Soekarno selaku Presiden.
Tanpa pikir panjang, demi kepentingan besar perjuangan NU, Mbah Wahab pergi ke Jakarta melobi Ir. Soekarno, sambil pamitan dan meminta kepada para santri Pondok Tambak Beras untuk terus beristighasah sambil memperbanyak melantunkan 2 bait syair Sholawat di kitab Burdah, khususnya pada bait:
Huwal habibul ladzi turja syafa’atuhu #Likulli hawlin minal ahwali muqtahami
Singkat cerita, lobi-lobi yang dilakukan Mbah Wahab berhasil; mulai tawaran 3 kabinet dari Ir. Soekarno menjadi 4 kabinet. Dengan gaya negosiasi model kiai pesantren yang penuh humor menjadi jalan Ir. Soekarno luluh, tanpa merasa dipaksa. Bahkan, 3 kabinet yang ditawarkan oleh Ir. Soekarno kepada Mbah Wahab sebagai jatah NU. Mbah Wahab mengatakan; "ini tidak adil, masak hanya tiga. Kayak naik bemo aja, sementara anggota NU jutaan. Naik bemo tidak imbang sebab rodanya tiga, mudah tergelincir dan jatuh. Empat kabinet pantas bagi NU, agar kendaraan ini tidak mudah “oleng” mengangkut jutaan nahdliyin."
Gaya politik humor Mbah Wahab di satu sisi dan penggunaan kekuatan batin sebagai instrumen menuju kesuksesannya di sisi yang lain mengantarkan politik negosiasinya cukup ampuh dalam turut serta mengantarkan NU disegani semua pihak. Bahkan, menurut catatan Greg Fealy dan Greg Borton, gaya politik Mbah Wahab unik dan penuh “kesaktian” sebab menggunakan kekuatan magis sehingga mudah menaklukkan lawan bicaranya, tanpa merasa terpaksa dan tersakiti.
Saatnya kita terus belajar dari para ulama dan penggerak awal NU dalam perbagai persoalan, baik soal ketaatan beragama maupun konsistensi beliau-beliau dalam menguatkan politik kebangsaan. Dan sekali lagi, dari Mbah Wahab dan kebiasaannya membaca bait-bait Burdah, kita belajar –dan disadarkan-- bahwa politik jangan hanya mengandalkan rasionalitas, tapi perlu menggunakan gerak batin. Salah satu gerak batin itu adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan banyak membaca sholawat; niat berwasilah dengan Nabi Muhammmad Saw. agar politik yang dibangun sukses dan berkah. (*).
----------
Tulisan diolah dari sumber:
Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara.Yogyakarta: LKiS, 1997.
Sambutan Dr. KH. Hasib Wahab dalam acara Pengukuhan Pengurus Pusat Majelis Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor, tanggal 20 Mei 217.
Naskah Ijazah “Huwal Habibu” dari sanad Dr. KH. Hasib Wahab dan KH. Jamaluddin Ahmad Jombang.
@halaqoh.net
Wasid Mansyur, PW LTNNU Jatim, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya, Alumni LP. al-Khoziny Buduran Sidoarjo
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.